Selasa, 29 November 2016

RESENSI BUKU TEORI NEGARA HUKUM

RESENSI BUKU
TEORI NEGARA HUKUM

Judul buku      : Teori Negara Hukum
Penulis             : Fajlurrahman Jurdi
Penerbit           : Setara Press
Tahun Terbit    : September 2016
Tebal Buku      : XII+258, 14 x 21 cm
Peresensi         : Dwi Putri Hijriani A
           

Secara garis besar, buku ini menjelaskan tentang permulaan suatu negara hukum atau teori yang dalam negara hukum itu sendiri. Juga tentang historisitas konsepsi negara hukum dalam kancah perdebatan filosofis-etisnya hingga pengaruhnya pada bentuk-bentuk sistem negara.
Pada bagian awal buku ini, membahas tentang Sejarah negara hukum yang sama tuanya dengan sejarah demokrasi. Namun, hampir semua studi seluruh negara hukum dan demokrasi berhenti pada hulu zaman trio philosopher, yakni Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Dalam Politeia, karya Plato yang sangat termahsyur adalah gagasan awal tentang negara dan hukum yang diperuat kembali dengan Politikos yang berbicara tentang ahli negara, atau Staatman dan Nomoi yang berbicara mengenai hukum “the law”.
Dalam melihat karya Plato tersebut, Plato mengungkapkan posisi hukum yang sebenarnya. Keinginannya untuk menciptakan negara yang ideal tidak terlepas dari pemikirannya yang menganggap bahwa negara negara ideal adalah negara yang kepemimpinannya seorang pemimpin yang cerdas.
Berkenaan dengan eksistensi hukum, Plato menjelaskan bahwa filsuf-raja tidak perlu tunduk kepada hukum karema hukum hanya di gunakan untuk masyarakat yang di pimpinnya. Hal itu disebabkan oleh satu “keyakinan” subyektif, bahwa filsuf-raja adalah manusia-manusia suci yang tidak akan terjerembab kedalam perbuatan jahat. Baginya, negara yang dipimpin oleh filsuf akan jauh lebih baik.
Sementara di dalam Politicus, Plato mulai berfikir secara logis. Plato menyadari bahwa seni memimpin negara termasuk seni membuat undang-undang. Namun, meski pemikirannya lebih logis, tetapi tentu saja Plato tidak meninggalkan pemikiran lamanya, yaitu mengenai posisiku filsuf-raja yang lebih tinggi daripada hukum itu sendiri.
Hal ini juga tergambar dalam Politenia dan Nomoi. Politenia disepadankan dengan konstitusi dan nomoi adalah undang-undang biasa. Politenia mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada Nomoi karena Politenia mempunyai kekuasaan yang membentuk, sedangkan pada Nomoi tidak ada karena nomoi hanya merupakan materi yang harus di bentuk supaya tidak bercerai berai.
Sementara itu, Aristoteles memandang negara sebagai ciptaan alam karena manusia yang hidup sendirian tidak dapat mencukupi dirinya sendiri, dan dengan demikian harus dianggap sebagai suatu bagian dalam hubungan dengan politeia sebagai bentuk pemerintahan terbaik.
Menurut Aristoteles, politik merupakan suatu cabang pengetahuan praktis. Politik merupakan bagian dari etika yang berurusan dengan manusia dalam kegiatan kelompok.
Menurut Tahir Azhary, mengatakan bahwa secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles ketika ia mengintroduksi Nomoi.
Dalam buku yang di tulis oleh Plato Politeia,  Theo Huijbers menuliskan bahwa Plato melukiskan suatu model tentang negara yang adil. Plato juga membagi penduduk dalam tiga golongan, yaitu :
1.      Golongan bawah
2.      Golongan tengah
3.      Golongan atas

Konsepsi negara hukum dalam sejarah klasik itu kemudian dikembangkan di abad pencerahan oleh Thomas Hobbes, John Locke, Baron de Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau dan sebagainya yang kemudian menjadi dasar berkembangnya teori hukum modern.
Sejarah sentralnya tetap bermula dari konsepsi awal Sokrates, Plato dan Aristoteles. Itulah sebab pemikiran mereka membentang dari filsafat hingga negara yang kesemuanya merupakan “satu paket” pemikiran yang secara terus menerus dan tidak pernah hilang dari pemikiran manusia.
Pada bagian dua bab pertama, buku ini membahas tentang kajian negara hukum dengan segala instrumennya, membawa kita pada satu asumsi dasar, bahwa hukum telah menjadi satu kajian penting dalam dasar sebuah negara.
Apabila kita merujuk konsep hukum masa kini, maka bangunan dasar negara harus merespon realita sosial (social reality) agar teratur dan memiliki keteraturan untuk mengikat mereka.
Sebab itu, tipe tindakan negara hukum harus merujuk kepada dimensi-dimens hakiki masyarakat, bahwa masyarakat sebagai basis sosial harus di jadikan sebagai subyek sosial.
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum terus berkembang mengikuti sejarah perkebangan umat manusia. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasam mengenai negara hukum sudah berkembang sejak 1800 SM.
Ide negara hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomoracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Hal yang menjadi faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum.
Professor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan negara hukum materiil atau negara hukum modern. Konsep tentang negara hukum mengalami pertumbuhan menjelang abad XX yang di tandai dengan lahirnya konsep negara hukum modern (welfare state) dimana tugas negara sebagai penjaga malam dan keamanan mulai berubah.
Friedrich Julius stahl memperkenalkan negara hukum menurut persepsi zamannya. Ciri rechstaat menurut Friedrich Julius stahl, yakni :
1.      HAM;
2.      Pembagian kekuasaan berdasar trias politika untuk menjamin HAM Pemerintahan berdasarkan peraturan;
3.      Peradilan administrasi dalam perselisihan;

Menurut Sudargo G. Ada 3 ciri negara hukum :
1.      Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap seseorang;
2.      Asas legalitas;
3.      Pemisahan kekuasaan

Dalam rechtsstaat, dasar kewibawaan kenegaraan (de groundslag van statelijik gezag) diletakkan pada hukum dan penyelenggaraan kewibawaan kenegaraan dalam segala bentuknya di tempatkan di bawah kekuasaan hukum.
Menurut Von Mohl, Rechtsstaat mengandung unsur-unsur (adanya) persamaan didepan hukum, dapatnya setiap orang mempertahankan diri dalam semua situasi yang layak, adanya kesempatan yang sama bagi semua jabatan kenegaraan, dan adanya kebebasan pribadi bagi warga negara.
Sementara unsur-unsur negara hukum berakar pada sejarah perkembangan suatu bangsa. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Pengakuan;
2.      Asas kepastian hukum, beberapa asas yang terkandung dalam asas kepastian hukum :
o   Asas Legalitas;
o   Asas UU;
o   Asas Nonretroaktif;
o   Asas peradilan bebas;
o   Asas non liquiet;
o   HAM harus di rumuskan dan dijamin perlindungannya dalam UU (UUD)
3.      Asas Similia Similubus (Asas Persamaan), ada empat hal penting yang terkadung dalam asas ini adalah :
o   Tindakan yang berwenang di atur dalam UU dalam arti materiil.
o   Adanya pemisahan kekuasaan.
o   Persamaan kedudukan didepan hukum dan pemerintahan.
o   Tuntutan perlakuan yang sama bagi semua warga.
4.      Asas demokrasi, unsur turunannya adalah :
o   Pemilu yang langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil.
o   Pemerintah yang bertanggungjawab
o   Peraturan untuk badan yang berwenang di atur oleh parlemen.
o   Semua warga negara memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan politik dan mengontrol pemerintah.
o   Hak untuk memilih dan di pilih bagi warga negara
o   Semua tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional bagi semua pihak.
o   Kebebasan berpendapat/keyakinan dan menyatakan pendapat.
o   Kebebasan pers dan lalu lintas informasi.
o   Rancangan Undang-Undang (RUU) harus di publikasikan.
5.      Pemerintah dan Pejabat Pemerintah mengemban fungsi Pelayanan Masyarakat, yang unsurnya adalah :
o   Asas-asas umum pemerintahan yang layak.
o   Syarat-syarat fundamen bagi keberadaan manusia.
o   Pemerintah harus secara rasional menata tindakannya.
o   Hak asasi dijamin dalam UUD.

Menurut Robert Maclver, inti negara hukum adalah sebagai alat pemaksa mereka sendiri mematuhi peraturan-peraturan agar tercapai keinginan bersama. Dan konsep pokok dari negara hukum adalah adanya pembatasan oleh hukum, dalam pengertian bahwa setiap sikap, tingkah laku dan perbuatan baik yang dilakukan oleh penguasa maupun oleh warga negaranya terbebas dari tindakan sewenang-wenang.
Pada bab dua buku ini membahas mengenai Negara Hukum Profetik, istilah profetik pertama kali diperkenalkan oleh Kuntowijoyo. Kata profetik itu sendiri bisa berarti kenabian. Negara hukum profetik bisa juga diartikan negara islam yang memiliki keterkaitan dengan setting historis masyarakat Madinah pada masa Rasulullah Muhammad SAW hidup.
Menurut Happy Susanto, tujuan ISP adalah ingin membangun sebuah komunitas atau masyarakat ideal. Untuk mencapai tujuan itu, maka masyarakat harus berperan aktif dalam pelaksanaannya.
Salah satu elemen penting yang menjadi dasar rujukan Hukum Profetik, atau Nomokrasi Islam adalah konsepsi dan bangunan Negara Hukum di Madinah, yakni negara yang di bentuk dan ditata dengan hukum ketuhanan yang diatur dibawah kepemimpinan kenabian.
Para pendiri negara telah memilih suatu paradigma bernegara yang tidak hanya mengacu pada tradisi hukum Barat, melainkan juga berakar pada tradisi asli Bangsa Indonesia. Paradigma bernegara itu dirumuskan dengan memadukan secara paripurna lima prinsip bernegara, yakni Ketuhanan (theisme), kemanusiaan (humanisme), kebangsaan (nasionalisme), kerakyatan (demokrasi), dan keadilan sosial (sosialisme) kedalam suatu konsep Pancasila.
Cita hukum (Rechtsidee) perlu dibedakan dari pemahaman atau konsep kita tentang hukum (rechtsbegriff). Cita hukum ada didalam cita kita, sedang pemahaman konsep tentang hukum merupakan kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai yang kita inginkan (wertbezogene).
Gustav Radbruch menegaskan bahwa cita hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sebagai fungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu menentukan bahwa tanpa cita hukum, maka hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.
Menurut Mahfud, Untuk mewujudkan negara hukum Indonesia yang berorientasi pada keadilan substantif, pembangunan hukum harus dilakukan secara prismatik dengan titik berat, pada penegakan keadilan substantif.
Dengan paradigma ini, setiap upaya penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari jebakan formalitas prosedural serta mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam setiap penyelesaian kasus hukum.
Istilah pascamodern atau postmodern adalah istilah yang digunakan untuk melakukan kritik terhadap praktik-praktik modernitas. Didalam teori pascamodern, kekuatan-kekuatan modern beserta segala implikasi yang ditimbulkannya telah membawa banyak kemunduran bagi peradaban manusia.
Negara hukum postmodern bekerja secara teratur mematahkan dominasi kapitalisme, menggugat otoritas globalisasi, juga mematahkan argumentasi narasi-narasi hukum yang telah ada sebagai suatu pertahanan status quo yang bisa menyebabkan negara bisa memaksakan kehendak tanpa reserve.
Sebagai teori dekonstruksi (deconstruction theorie), postmodernism adalah merupakan upaya untuk menegaskan kembali bahwa hukum selama ini sebagai narasi besar (grand naration) yang dianggap sebagai sumber kebenaran dan keadilan semata-mata tidaklah benar.
Hukum hanyalah merupakan salah satu rantai dari sekian banyak instrumen yang bisa digunakan untuk memecahkan persoalan sosial tersebut.
Istilah pascakolonial adalah untuk menemukan suatu kajian barubagi negara yang pernah mengalami penjajahan. Penjajah meninggalkan tanah jajahnya, tidak pergi begitu saja dan tanpa jejak.
Namun, ada sejumlah jejak yang ditinggalkan oleh kolonialis. Selain berupa simbol kesewenang-wenangan kolonialis, yang paling berbahaya adalah “pengetahuan” dan “keyakinan”.
Meskipun studi tentang konsepsi negara hukum ini akan sama dengan setting historis studi tentang pembentukan Pancasila sebagai rechtsidee, namun pendekatan negara hukum pascakolonialisme lebih dominan pada cara pandang sejarah pengetahuan hukum nasional yang di konstruksi dari mekanisme berpikir Beladaisme.
Pada bagian terakhir buku ini, membahas mengenai pandangan beberapa ahli tentang Negara Hukum itu sendiri. Diantaranya ialah Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, John Locke, Baron de Montesqieu, Jean-Jacques Rousseau, Robert Morrisson Maciver, Hans Kelsen, Gouw Giok Siong, Jurgen Habermas, Michel Foucault, Jimly Asshiddiqie. Salah satu pendapat tokoh yang akan saya bahas disini ialah John Locke.
John Locke lahir pada 29 Agustus 1932 dan meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun. Ia adalah seorang filsuf dari Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Locke juga dipandang sebagai figur terpenting di era pencerahan.
Pandangan Locke tentang negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul “Dua Tulisan tentang Pemerintahan (Two Treatises of Civil government)”. Locke membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga yakni, keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the state of war), dan negara (commonwealth).
1.      The State of Nature (Keadaan Alamiah)
Keadaan alamiah adalah tahapan pertama dalam perkembangan masyarakat. Menurut Locke, keadaan alamiah sebuah masyarakat adalah situasi harmonis, dimana semua manusia memiliki kebebasan dan kesamaan hak. Locke menyebut ada hak-hak dasar yang terikat dalam kosrat setiap menusia dan merupakan pemberian Allah. Konsep ini hampir sama dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di masyarakat modern.

2.      The State of War (Tahap Keadaan Perang)
Locke menyebutkan bahwa ketika keadaan alamiah telah mengenal hubungan-hubungan sosial maka situasi harmoni mulai berubah. Hal ini disebabkan karena terciptanya uang. Karena dengan uang, seseorang dapat dengan mudah mengumpulkan kekayaannya secara berlebihan, sedangkan pada tahap sebelumnya tidak perbedaan kekayaan yang mencolok karena setiap manusia memenuhi kebutuhan secukupnya untuk pribadi masing-masing. Pada tahap ini juga, mulai dikenal yang namanya perbedaan status dan derajat manusia. Hal ini yang menimbulkan permusuhan, rasa iri, dan rasa ingin bersaing. Situasi seperti inilah yang berpotensi menghancurkan kehidupan manusia jika tidak ada jalan keluar dari keadaan perang.

3.      Tahap Terbentuknya Negara
Locke mengatakan bahwa untuk menemukan jalan keluar dari keadaan perang sambil menjami hak pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan “perjanjian asal”. Disinilah lahir negara persemakmuran (Commonwealth).
Dalam perjanjian tersebut, masyarakat memberikan dua kekuasaan penting yang mereka miliki didalam keadaan alamiah kepada negara. Perjanjian adalah salah satu bentuk hukum. Karena dalam perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian, selama jangka waktu yang tentukan belum habis.
Kegunaan negara menurut Locke adalah untuk mempertahankan hak-hak alamiah yang berupa hak hidup, hak atas kebebasan dan hak milik yang telah ada pada situasi status naturalis.
Tidak hanya sampai disitu, Locke juga berpendapat tentang teori lembaga negara. Ia mencoba memisahkan antara tiga lembaga negara yaitu pembuat undang-undang (legislative), dan pelaksana undang-undang (eksekutive) dan yang terakhir adalah kekuasaan Federatif. Dari sinilah orang-orang mulai mengenal teori pemisahan kekuasaan.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut, harus terpisah satu sama lain baik mengenai tugas dan fungsinya dan mengenai alat kelengkapan yang menyelenggarakannya.
Ketiga badan kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang lain atau badan yang untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang berkuasa. Hal ini juga dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi hak-hak asasi negara yang lebih terjamin.
Inilah penjelasan singkat oleh John Locke tentang negara hukum. Yakni bermula pada status naturalis, kemudian berkembang menjadi status civilis, yaitu keadaan dimana masyarakat sudah mulai diatur oleh negara. Dengan demikian, Locke telah menentukan dasar atau pondasi dari negara hukum.
Gagasannya tentang pemisahan kekuasan juga menjadi fundamental, karena itulah inti dari negara hukum. Kekuasaan tidak dapat diletakkan secara tunggal, melainkan harus dibagi menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif fan federal.
Adapun kelebihan dari buku “Teori Negara Hukum” ini ialah isinya yang sangat lengkap, itu ditunjukkan dari catatan kaki, daftar indeks dan daftar pustakanya yang memuat seluruh sumber dari buku tersebut. Sedangkan kekurangannya ialah catatan kakinya yang terlalu lengkap sampai kepada sejarah tentang filsuf-filsuf yang disebutkan namanya sehingga sangat memuat banyak tempat.
Demikianlah resensi buku ini saya buat, lebih dan kurangnya mohon di maafkan, karena kesempurnaan hanya milik Sang Maha Pencipta.
Wassalamualaikum Wr. Wb.