RESENSI BUKU
TEORI NEGARA
HUKUM
Judul
buku : Teori Negara Hukum
Penulis : Fajlurrahman Jurdi
Penerbit : Setara Press
Tahun
Terbit : September 2016
Tebal
Buku : XII+258, 14 x 21 cm
Peresensi : Dwi Putri Hijriani A
Secara garis besar, buku ini menjelaskan
tentang permulaan suatu negara hukum atau teori yang dalam negara hukum itu
sendiri. Juga tentang historisitas konsepsi negara hukum dalam kancah
perdebatan filosofis-etisnya hingga pengaruhnya pada bentuk-bentuk sistem
negara.
Pada bagian awal buku ini, membahas
tentang Sejarah negara hukum yang sama tuanya dengan sejarah demokrasi. Namun,
hampir semua studi seluruh negara hukum dan demokrasi berhenti pada hulu zaman trio philosopher, yakni Sokrates, Plato
dan Aristoteles.
Dalam Politeia, karya Plato yang sangat termahsyur adalah gagasan awal
tentang negara dan hukum yang diperuat kembali dengan Politikos yang berbicara tentang ahli negara, atau Staatman dan Nomoi yang berbicara mengenai hukum “the law”.
Dalam melihat karya Plato tersebut, Plato
mengungkapkan posisi hukum yang sebenarnya. Keinginannya untuk menciptakan
negara yang ideal tidak terlepas dari pemikirannya yang menganggap bahwa negara
negara ideal adalah negara yang kepemimpinannya seorang pemimpin yang cerdas.
Berkenaan dengan eksistensi hukum, Plato
menjelaskan bahwa filsuf-raja tidak perlu tunduk kepada hukum karema hukum
hanya di gunakan untuk masyarakat yang di pimpinnya. Hal itu disebabkan oleh
satu “keyakinan” subyektif, bahwa filsuf-raja adalah manusia-manusia suci yang tidak
akan terjerembab kedalam perbuatan jahat. Baginya, negara yang dipimpin oleh
filsuf akan jauh lebih baik.
Sementara di dalam Politicus, Plato mulai berfikir secara logis. Plato menyadari bahwa
seni memimpin negara termasuk seni membuat undang-undang. Namun, meski
pemikirannya lebih logis, tetapi tentu saja Plato tidak meninggalkan pemikiran
lamanya, yaitu mengenai posisiku filsuf-raja yang lebih tinggi daripada hukum
itu sendiri.
Hal ini juga tergambar dalam Politenia dan Nomoi. Politenia disepadankan dengan konstitusi dan nomoi adalah undang-undang biasa. Politenia mengandung kekuasaan yang
lebih tinggi daripada Nomoi karena Politenia mempunyai kekuasaan yang
membentuk, sedangkan pada Nomoi tidak
ada karena nomoi hanya merupakan materi yang harus di bentuk supaya tidak
bercerai berai.
Sementara itu, Aristoteles memandang
negara sebagai ciptaan alam karena manusia yang hidup sendirian tidak dapat
mencukupi dirinya sendiri, dan dengan demikian harus dianggap sebagai suatu
bagian dalam hubungan dengan politeia sebagai bentuk pemerintahan terbaik.
Menurut Aristoteles, politik merupakan
suatu cabang pengetahuan praktis. Politik merupakan bagian dari etika yang
berurusan dengan manusia dalam kegiatan kelompok.
Menurut Tahir Azhary, mengatakan bahwa
secara embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato dan
Aristoteles ketika ia mengintroduksi Nomoi.
Dalam
buku yang di tulis oleh Plato Politeia, Theo Huijbers menuliskan bahwa Plato
melukiskan suatu model tentang negara yang adil. Plato juga membagi penduduk
dalam tiga golongan, yaitu :
1.
Golongan
bawah
2.
Golongan
tengah
3.
Golongan
atas
Konsepsi negara
hukum dalam sejarah klasik itu kemudian dikembangkan di abad pencerahan oleh
Thomas Hobbes, John Locke, Baron de Montesquieu, Jean-Jacques Rousseau dan
sebagainya yang kemudian menjadi dasar berkembangnya teori hukum modern.
Sejarah
sentralnya tetap bermula dari konsepsi awal Sokrates, Plato dan Aristoteles.
Itulah sebab pemikiran mereka membentang dari filsafat hingga negara yang
kesemuanya merupakan “satu paket” pemikiran yang secara terus menerus dan tidak
pernah hilang dari pemikiran manusia.
Pada bagian dua
bab pertama, buku ini membahas tentang kajian negara hukum dengan segala
instrumennya, membawa kita pada satu asumsi dasar, bahwa hukum telah menjadi
satu kajian penting dalam dasar sebuah negara.
Apabila kita
merujuk konsep hukum masa kini, maka bangunan dasar negara harus merespon
realita sosial (social reality) agar teratur dan memiliki keteraturan untuk
mengikat mereka.
Sebab itu, tipe
tindakan negara hukum harus merujuk kepada dimensi-dimens hakiki masyarakat,
bahwa masyarakat sebagai basis sosial harus di jadikan sebagai subyek sosial.
Perkembangan
konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau
pengertian negara hukum terus berkembang mengikuti sejarah perkebangan umat
manusia. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat
hukum dan kenegaraan gagasam mengenai negara hukum sudah berkembang sejak 1800
SM.
Ide negara
hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtstaat’
dan ‘the rule of law’, juga berkaitan
dengan konsep ‘nomoracy’ yang berasal
dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan nomokrasi itu dapat
dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’ dalam demokrasi. ‘Nomos’
berarti norma, sedangkan ‘cratos’
adalah kekuasaan. Hal yang menjadi faktor penentu dalam penyelenggaraan
kekuasaan adalah norma atau hukum.
Professor
Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara hukum klasik, dan
negara hukum materiil atau negara hukum modern. Konsep tentang negara hukum
mengalami pertumbuhan menjelang abad XX yang di tandai dengan lahirnya konsep
negara hukum modern (welfare state) dimana
tugas negara sebagai penjaga malam dan keamanan mulai berubah.
Friedrich Julius
stahl memperkenalkan negara hukum menurut persepsi zamannya. Ciri rechstaat
menurut Friedrich Julius stahl, yakni :
1.
HAM;
2.
Pembagian
kekuasaan berdasar trias politika untuk menjamin HAM Pemerintahan berdasarkan
peraturan;
3.
Peradilan
administrasi dalam perselisihan;
Menurut Sudargo
G. Ada 3 ciri negara hukum :
1.
Terdapat
pembatasan kekuasaan negara terhadap seseorang;
2.
Asas
legalitas;
3.
Pemisahan
kekuasaan
Dalam rechtsstaat, dasar kewibawaan
kenegaraan (de groundslag van statelijik
gezag) diletakkan pada hukum dan penyelenggaraan kewibawaan kenegaraan
dalam segala bentuknya di tempatkan di bawah kekuasaan hukum.
Menurut Von Mohl, Rechtsstaat mengandung
unsur-unsur (adanya) persamaan didepan hukum, dapatnya setiap orang
mempertahankan diri dalam semua situasi yang layak, adanya kesempatan yang sama
bagi semua jabatan kenegaraan, dan adanya kebebasan pribadi bagi warga negara.
Sementara unsur-unsur negara hukum
berakar pada sejarah perkembangan suatu bangsa. Unsur-unsur tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
Pengakuan;
2.
Asas kepastian
hukum,
beberapa asas yang terkandung dalam asas kepastian hukum :
o
Asas
Legalitas;
o
Asas
UU;
o
Asas
Nonretroaktif;
o
Asas
peradilan bebas;
o
Asas
non liquiet;
o
HAM
harus di rumuskan dan dijamin perlindungannya dalam UU (UUD)
3.
Asas Similia
Similubus (Asas Persamaan), ada empat hal penting yang terkadung dalam asas ini
adalah :
o
Tindakan
yang berwenang di atur dalam UU dalam arti materiil.
o
Adanya
pemisahan kekuasaan.
o
Persamaan
kedudukan didepan hukum dan pemerintahan.
o
Tuntutan
perlakuan yang sama bagi semua warga.
4.
Asas demokrasi, unsur
turunannya adalah :
o
Pemilu
yang langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil.
o
Pemerintah
yang bertanggungjawab
o
Peraturan
untuk badan yang berwenang di atur oleh parlemen.
o
Semua
warga negara memiliki hak yang sama dalam pengambilan keputusan politik dan
mengontrol pemerintah.
o
Hak
untuk memilih dan di pilih bagi warga negara
o
Semua
tindakan pemerintahan terbuka bagi kritik dan kajian rasional bagi semua pihak.
o
Kebebasan
berpendapat/keyakinan dan menyatakan pendapat.
o
Kebebasan
pers dan lalu lintas informasi.
o
Rancangan
Undang-Undang (RUU) harus di publikasikan.
5.
Pemerintah
dan Pejabat Pemerintah mengemban fungsi Pelayanan Masyarakat, yang unsurnya
adalah :
o
Asas-asas
umum pemerintahan yang layak.
o
Syarat-syarat
fundamen bagi keberadaan manusia.
o
Pemerintah
harus secara rasional menata tindakannya.
o
Hak
asasi dijamin dalam UUD.
Menurut Robert Maclver, inti negara
hukum adalah sebagai alat pemaksa mereka sendiri mematuhi peraturan-peraturan
agar tercapai keinginan bersama. Dan konsep pokok dari negara hukum adalah
adanya pembatasan oleh hukum, dalam pengertian bahwa setiap sikap, tingkah laku
dan perbuatan baik yang dilakukan oleh penguasa maupun oleh warga negaranya
terbebas dari tindakan sewenang-wenang.
Pada bab dua buku ini membahas mengenai
Negara Hukum Profetik, istilah profetik pertama kali diperkenalkan oleh
Kuntowijoyo. Kata profetik itu sendiri bisa berarti kenabian. Negara hukum
profetik bisa juga diartikan negara islam yang memiliki keterkaitan dengan
setting historis masyarakat Madinah pada masa Rasulullah Muhammad SAW hidup.
Menurut Happy Susanto, tujuan ISP adalah
ingin membangun sebuah komunitas atau masyarakat ideal. Untuk mencapai tujuan
itu, maka masyarakat harus berperan aktif dalam pelaksanaannya.
Salah satu elemen penting yang menjadi
dasar rujukan Hukum Profetik, atau Nomokrasi Islam adalah konsepsi dan bangunan
Negara Hukum di Madinah, yakni negara yang di bentuk dan ditata dengan hukum
ketuhanan yang diatur dibawah kepemimpinan kenabian.
Para pendiri negara telah memilih suatu
paradigma bernegara yang tidak hanya mengacu pada tradisi hukum Barat,
melainkan juga berakar pada tradisi asli Bangsa Indonesia. Paradigma bernegara
itu dirumuskan dengan memadukan secara paripurna lima prinsip bernegara, yakni
Ketuhanan (theisme), kemanusiaan (humanisme), kebangsaan (nasionalisme), kerakyatan (demokrasi), dan keadilan sosial (sosialisme) kedalam suatu konsep Pancasila.
Cita hukum (Rechtsidee) perlu dibedakan dari pemahaman atau konsep kita
tentang hukum (rechtsbegriff). Cita
hukum ada didalam cita kita, sedang pemahaman konsep tentang hukum merupakan
kenyataan dalam kehidupan yang berkaitan dengan nilai yang kita inginkan (wertbezogene).
Gustav Radbruch menegaskan bahwa cita
hukum tidak hanya berfungsi sebagai tolok ukur yang bersifat regulatif, yaitu
yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sebagai
fungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu menentukan bahwa tanpa
cita hukum, maka hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.
Menurut Mahfud, Untuk mewujudkan negara
hukum Indonesia yang berorientasi pada keadilan substantif, pembangunan hukum
harus dilakukan secara prismatik dengan titik berat, pada penegakan keadilan
substantif.
Dengan paradigma ini, setiap upaya
penegakan hukum akan mampu melepaskan diri dari jebakan formalitas prosedural
serta mendorong para penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali
nilai-nilai keadilan serta menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam
setiap penyelesaian kasus hukum.
Istilah pascamodern atau postmodern adalah
istilah yang digunakan untuk melakukan kritik terhadap praktik-praktik
modernitas. Didalam teori pascamodern,
kekuatan-kekuatan modern beserta segala implikasi yang ditimbulkannya telah
membawa banyak kemunduran bagi peradaban manusia.
Negara hukum postmodern bekerja secara teratur mematahkan dominasi kapitalisme,
menggugat otoritas globalisasi, juga mematahkan argumentasi narasi-narasi hukum
yang telah ada sebagai suatu pertahanan status quo yang bisa menyebabkan negara
bisa memaksakan kehendak tanpa reserve.
Sebagai teori dekonstruksi (deconstruction theorie), postmodernism
adalah merupakan upaya untuk menegaskan kembali bahwa hukum selama ini sebagai
narasi besar (grand naration) yang dianggap sebagai sumber kebenaran dan
keadilan semata-mata tidaklah benar.
Hukum hanyalah merupakan salah satu
rantai dari sekian banyak instrumen yang bisa digunakan untuk memecahkan
persoalan sosial tersebut.
Istilah pascakolonial adalah untuk menemukan suatu kajian barubagi negara
yang pernah mengalami penjajahan. Penjajah meninggalkan tanah jajahnya, tidak
pergi begitu saja dan tanpa jejak.
Namun, ada sejumlah jejak yang
ditinggalkan oleh kolonialis. Selain berupa simbol kesewenang-wenangan
kolonialis, yang paling berbahaya adalah “pengetahuan”
dan “keyakinan”.
Meskipun studi tentang konsepsi negara
hukum ini akan sama dengan setting
historis studi tentang pembentukan Pancasila sebagai rechtsidee, namun pendekatan negara hukum pascakolonialisme lebih
dominan pada cara pandang sejarah
pengetahuan hukum nasional yang di konstruksi dari mekanisme berpikir
Beladaisme.
Pada bagian terakhir buku ini, membahas
mengenai pandangan beberapa ahli tentang Negara Hukum itu sendiri. Diantaranya
ialah Niccolo Machiavelli, Thomas Hobbes, John Locke, Baron de Montesqieu,
Jean-Jacques Rousseau, Robert Morrisson Maciver, Hans Kelsen, Gouw Giok Siong,
Jurgen Habermas, Michel Foucault, Jimly Asshiddiqie. Salah satu pendapat tokoh
yang akan saya bahas disini ialah John
Locke.
John Locke lahir pada 29 Agustus 1932
dan meninggal 28 Oktober 1704 pada umur 72 tahun. Ia adalah seorang filsuf dari
Inggris yang menjadi salah satu tokoh utama dari pendekatan empirisme. Locke
juga dipandang sebagai figur terpenting di era pencerahan.
Pandangan Locke tentang negara terdapat
di dalam bukunya yang berjudul “Dua
Tulisan tentang Pemerintahan (Two Treatises of Civil government)”. Locke
membagi perkembangan masyarakat menjadi tiga yakni, keadaan alamiah (the state of nature), keadaan perang (the state of war), dan negara (commonwealth).
1.
The State of Nature (Keadaan Alamiah)
Keadaan
alamiah adalah tahapan pertama dalam perkembangan masyarakat. Menurut Locke,
keadaan alamiah sebuah masyarakat adalah situasi harmonis, dimana semua manusia
memiliki kebebasan dan kesamaan hak. Locke menyebut ada hak-hak dasar yang
terikat dalam kosrat setiap menusia dan merupakan pemberian Allah. Konsep ini
hampir sama dengan konsep Hak Asasi Manusia (HAM) di masyarakat modern.
2.
The State of War (Tahap Keadaan Perang)
Locke
menyebutkan bahwa ketika keadaan alamiah telah mengenal hubungan-hubungan
sosial maka situasi harmoni mulai berubah. Hal ini disebabkan karena
terciptanya uang. Karena dengan uang, seseorang dapat dengan mudah mengumpulkan
kekayaannya secara berlebihan, sedangkan pada tahap sebelumnya tidak perbedaan
kekayaan yang mencolok karena setiap manusia memenuhi kebutuhan secukupnya
untuk pribadi masing-masing. Pada tahap ini juga, mulai dikenal yang namanya
perbedaan status dan derajat manusia. Hal ini yang menimbulkan permusuhan, rasa
iri, dan rasa ingin bersaing. Situasi seperti inilah yang berpotensi
menghancurkan kehidupan manusia jika tidak ada jalan keluar dari keadaan
perang.
3.
Tahap Terbentuknya Negara
Locke mengatakan
bahwa untuk menemukan jalan keluar dari keadaan perang sambil menjami hak
pribadi, maka masyarakat sepakat untuk mengadakan “perjanjian asal”. Disinilah
lahir negara persemakmuran (Commonwealth).
Dalam perjanjian
tersebut, masyarakat memberikan dua kekuasaan penting yang mereka miliki
didalam keadaan alamiah kepada negara. Perjanjian adalah salah satu bentuk
hukum. Karena dalam perjanjian tersebut akan mengikat para pihak yang
mengadakan perjanjian, selama jangka waktu yang tentukan belum habis.
Kegunaan negara
menurut Locke adalah untuk mempertahankan hak-hak alamiah yang berupa hak
hidup, hak atas kebebasan dan hak milik yang telah ada pada situasi status
naturalis.
Tidak hanya
sampai disitu, Locke juga berpendapat tentang teori lembaga negara. Ia mencoba
memisahkan antara tiga lembaga negara yaitu pembuat undang-undang (legislative), dan pelaksana
undang-undang (eksekutive) dan yang
terakhir adalah kekuasaan Federatif. Dari sinilah orang-orang mulai mengenal
teori pemisahan kekuasaan.
Ketiga cabang
kekuasaan tersebut, harus terpisah satu sama lain baik mengenai tugas dan
fungsinya dan mengenai alat kelengkapan yang menyelenggarakannya.
Ketiga badan
kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang lain atau badan yang
untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak yang berkuasa. Hal ini juga
dimaksudkan untuk menjaga dan melindungi hak-hak asasi negara yang lebih terjamin.
Inilah
penjelasan singkat oleh John Locke tentang negara hukum. Yakni bermula pada
status naturalis, kemudian berkembang menjadi status civilis, yaitu keadaan
dimana masyarakat sudah mulai diatur oleh negara. Dengan demikian, Locke telah
menentukan dasar atau pondasi dari negara hukum.
Gagasannya
tentang pemisahan kekuasan juga menjadi fundamental, karena itulah inti dari
negara hukum. Kekuasaan tidak dapat diletakkan secara tunggal, melainkan harus
dibagi menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif fan federal.
Adapun kelebihan
dari buku “Teori Negara Hukum” ini ialah isinya yang sangat lengkap, itu
ditunjukkan dari catatan kaki, daftar indeks dan daftar pustakanya yang memuat
seluruh sumber dari buku tersebut. Sedangkan kekurangannya ialah catatan
kakinya yang terlalu lengkap sampai kepada sejarah tentang filsuf-filsuf yang
disebutkan namanya sehingga sangat memuat banyak tempat.
Demikianlah resensi
buku ini saya buat, lebih dan kurangnya mohon di maafkan, karena kesempurnaan
hanya milik Sang Maha Pencipta.
Wassalamualaikum
Wr. Wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar